sudah ku bilang aku suka melodicpunk

Kamis, 30 Desember 2010

Perkenalan

Hari ini, hari pertamaku masuk di sekolahku yang baru. Hari pertama untuk masa orientasi siswa di SMP. Di hari ini, harus kulalui dulu tes kemampuan dasar untuk menentukan kelas yang akan aku diami nanti.

Tapi, sialnya aku lagi-lagi harus datang terlambat karena telat bangun tidur. Disaat semua murid baru kelas 7 sudah berbaris di lapangan sekolah dan seorang guru sedang membacakan pembagian ruangan sementara, aku baru datang. Tak kusangka begitu padatnya lapangan sekolah dan ramai sekali. Aku bingung harus bagaimana, untungnya salah seorang sahabatku yang sudah dua tahun lamanya kita tak saling jumpa segera memanggilku. Aku pun langsung mendatanginya dan dia berkata,

“Hei, akhirnya kamu datang juga. Dari tadi aku menunggumu. Kemana saja kamu, jam segini baru datang. Lihat sudah jam berapa?” dia menyindirku.

“hehe, maafkan aku. Tadi aku bangun kesiangan.” Jawabku.

“Oh yasudahlah. Sekarang kamu baris disini. Kamu satu ruangan denganku.” Tambahnya.

“oh, baguslah. Masuk ruangan apa kita?” tanyaku.

“ruang B” jawabnya lagi.

Kemudian murid-murid baru diperintahkan untuk memasuki ruangannya masing-masing. Aku sebangku dengan sahabatku itu, sebut saja namanya Noval. Aku duduk di bangku paling kiri barisan ke-empat. Di depanku duduk dua orang laki-laki, aku mengenali salah satu diantaranya. Sebut saja nama laki-laki itu, Revan. Aku tak menyangka akan dipertemukan di tempat seperti ini dengannya. Dia memperhatikanku sejenak, melihat tajam mataku lalu bertanya kepadaku,

“Dean sekolah dimana?” tanyanya tiba-tiba.

Aku tak begitu terkejut mendengar pertanyaannya, karena ia memang kenal akrab dengan Dean sewaktu SD dulu. Namun aku tak mengharapkan ia atau oranglain bertanya seperti itu, karena dua hal. Yang pertama, ia mantan kekasihku yang ingin aku lupakan dan yang kedua, aku memang tidak tau dimana dia bersekolah sekarang. Aku dan Dean sudah lama tidak pernah berkomunikasi lagi semenjak perpisahan di SD.

“Gatau.” Aku jawab dengan nada yang sinis.

“Payah.” Dia menimpali.

Di bangku belakangku juga ternyata ada Gilang, teman sewaktu Noval TK, tapi aku juga mengenalinya karena dia adalah salah satu dari sekian banyak anak yang menjadi korban kejahilan Dean saat TK dulu. Walau agak canggung rasanya, tapi kami tetap berbincang dengannya.

Lalu kami diberi soal tes kemampuan, soalnya sedikit dan mudah. Aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengobrol. Saat aku mengobrol dengan Noval, baru aku tau, jika ternyata nemku sama dengan nem revan. Di daftar penerimaan SMP, namaku ada tepat dibawah nama Revan. Aku tidak menyangka, sebenarnya ini kebetulan atau apa? Karena aku merasa perasaanku sangat aneh tak seperti biasanya saat itu.

Dari dulu, Revan kelihatannya pendiam. Hari ini baru aku tau cerewednya Revan. Tapi bukan cerewed seperti wanita. Setiap kejadian yang terjadi di ruangan itu, ia selalu menimpalinya dengan perkataan menghina oranglain. Kaka kelas yang menjaga di ruanganku saja, ia kata-katai walaupun hanya terdengar oleh aku, Noval dan dirinya sendiri.

“Geus mah awak gede, masih keneh nembongkeun betis. Asa jadi panggelisna wae.” Komentar Revan.
(“Sudah badan besar, masih saja memperlihatkan betis. Serasa dia paling cantik saja.”)

Entah kenapa, rasanya lucu mendengar dia berkata seperti itu, aku malah tertawa mendengarnya.

Tapi, “Hus, jangan ngomong sembarangan. Kaya yang kamu paling sempurna saja.” Langsung Noval menimpali perkataan Revan sambil merengut karena tak suka perkataannya.

“kamu juga badan besar.” Ucap Revan pada Noval sambil memalingkan muka.
Tentunya Noval semakin sebal saja dengan perkataan Revan.

“eh dasar kamu.” Kataku membela Noval sambil tertawa kecil karena aku anggap omongannya main-main semata.

Ya ampun, Kelakuannya sama persis seperti Dean. Hal itu yang membuatku tertawa saat ia mencemooh temanku.

Tiba-tiba, ada salah seorang murid yang bertanya,
“ka, ini tuh kelas sementara atau memang udah pasti nanti kelasnya bakal seperti ini?” tanya seorang murid.

Sebelum kaka kelas itu menjawab, Noval sudah menjawab duluan,

“idih, amit-amit aku sekelas sama orag kaya dia.” Lirikan mata kesalnya mengarah pada Revan.

“hahahahaha..” sekali lagi aku tertawa.
Revan hanya memalingkan muka.

“aku pengen kok sekelas sama orang kaya dia.” Ucapku dalam hati.
***